PADANG | Kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang kembali memicu gelombang protes. Presiden Mahasiswa (Presma), Hidayatul Fikri, secara resmi meminta Rektor untuk meninjau kembali keputusan penetapan UKT bagi mahasiswa baru (maba) tahun 2025. Desakan ini muncul setelah banyak keluhan dari calon mahasiswa dan orang tua mengenai besaran UKT yang dinilai terlalu tinggi dan tidak berkeadilan.
Hidayatul Fikri menyebut, penetapan UKT oleh pihak rektorat saat ini tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan Keputusan Menteri Agama (KMA) yang berlaku. Ia menekankan bahwa regulasi tersebut mengamanatkan pendidikan tinggi harus mudah diakses dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. “Kami menemukan banyak kasus di mana calon mahasiswa dari keluarga kurang mampu justru mendapatkan UKT golongan tertinggi. Ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga mematikan harapan mereka yang berprestasi namun terkendala biaya,” ujar Hidayatul Fikri pada Jumat, 1 Agustus 2025.
Menurutnya, penetapan UKT yang dilakukan pihak rektorat minim transparansi. Hidayatul Fikri menduga ada ketidaksesuaian antara data ekonomi yang diisi oleh calon mahasiswa dengan hasil verifikasi yang dilakukan pihak kampus. “Sistem penetapan UKT ini terlihat tidak valid. Pihak kampus seolah-olah tidak peduli dengan kondisi riil keluarga calon mahasiswa. Mereka hanya melihat data di atas kertas tanpa mempertimbangkan realita di lapangan,” tambahnya.
Kondisi ini diperparah dengan adanya laporan bahwa beberapa calon mahasiswa terpaksa mengundurkan diri karena tidak sanggup membayar UKT yang ditetapkan. “Ada beberapa kasus yang masuk ke kami, calon mahasiswa yang sudah diterima dengan bangga justru harus mengubur impiannya karena UKT yang ditetapkan sangat tinggi. Ini sangat memprihatinkan,” kata Hidayatul Fikri. Ia menilai, penetapan UKT yang tidak rasional ini secara langsung telah merampas hak pendidikan bagi sebagian anak bangsa, sebuah pelanggaran terhadap prinsip dasar yang diamanatkan oleh regulasi negara.
Lebih lanjut, Hidayatul Fikri juga menyoroti kurangnya sosialisasi dan keterlibatan mahasiswa dalam perumusan kebijakan ini. Ia berpendapat bahwa rektorat seharusnya melibatkan perwakilan mahasiswa dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak langsung pada biaya pendidikan. “Sesuai dengan semangat peraturan yang ada, seharusnya ada ruang dialog. UKT adalah persoalan yang sangat fundamental, dan kami berhak untuk didengarkan,” tegasnya. Menurut Hidayatul Fikri, transparansi dan partisipasi adalah kunci untuk menciptakan kebijakan yang adil dan dapat diterima semua pihak.
Hingga berita ini ditulis, pihak rektorat UIN Imam Bonjol Padang belum memberikan tanggapan resmi terkait tuntutan ini. Namun, Hidayatul Fikri menegaskan, gerakan ini akan terus disuarakan hingga Rektor mengambil langkah konkret dan bertanggung jawab. “Kami berharap Rektor dapat segera merespons dan menyelesaikan persoalan ini demi terciptanya pendidikan yang adil dan merata,” pungkasnya. Kisah mundurnya calon mahasiswa ini menjadi bukti nyata kegagalan sistem UKT yang ada saat ini dan menjadi pukulan telak bagi kredibilitas kampus.
Rel