SUMBAR | Stasiun Pariaman kembali menjadi sorotan publik sebagai salah satu stasiun paling unik di Indonesia. Tidak hanya berfungsi sebagai titik transportasi, tetapi juga menjadi ruang hidup masyarakat pesisir yang telah berdenyut selama lebih dari seratus tahun. Letaknya yang hanya beberapa langkah dari Pantai Gandoriah membuat stasiun ini menyatu dengan denyut wisata dan budaya pesisir Kota Pariaman, Minggu 16 November 2025.
Keberadaan Stasiun Pariaman tetap terjaga melalui kolaborasi erat antara pemerintah daerah, masyarakat, dan KAI. Revitalisasi yang dilakukan tidak sekadar memulihkan layanan, tetapi juga mempertegas posisinya sebagai ikon wisata dan pintu gerbang pergerakan masyarakat pesisir Sumatera Barat.
Setiap hari, 10 perjalanan kereta lokal Pariaman Ekspres relasi Paulina–Naras menjadi nadi mobilitas antara Padang dan Pariaman. Jalur ini bukan hanya moda transportasi, melainkan penggerak sektor wisata, ekonomi kreatif, dan hubungan sosial yang terus bertumbuh.
Kepala Humas KAI Divre II Sumbar, Reza Shahab, menjelaskan bahwa bangunan Stasiun Pariaman masih mempertahankan karakter kolonial akhir dengan jendela kayu besar dan kanopi logam khas bangunan pesisir. Desain ini bukan sekadar estetika, tetapi bentuk adaptasi terhadap angin laut dan kelembapan pesisir yang menjadi ciri khas wilayah tersebut.
Sejak awal beroperasi pada awal abad ke-20, stasiun ini berperan penting sebagai simpul ekonomi pesisir barat Sumatera, terutama untuk pergerakan komoditas seperti kopra dan ikan kering. Namun seiring berkembangnya kota dan kawasan Pantai Gandoriah sebagai destinasi wisata unggulan, fungsi Stasiun Pariaman bertransformasi menjadi pusat layanan wisatawan dan masyarakat.
Perjalanan menuju Gandoriah kini menjadi pengalaman tersendiri. Rute yang ditempuh sekitar 1,5 jam menyajikan panorama pesisir, pedesaan, dan suasana khas Sumatera Barat. Harga tiket yang terjangkau menjadikannya pilihan favorit wisatawan yang menginginkan perjalanan hemat namun tetap nyaman.
Transformasi ini terasa nyata setiap hari. Sejak pagi hingga senja, halaman stasiun menjadi ruang sosial tempat wisatawan, pedagang, pelajar, hingga seniman lokal saling berinteraksi. Perubahan itu juga tercermin dari pola penggunaan kereta yang kini didominasi wisatawan.
“Dulu kereta itu identik dengan pedagang, sekarang identik dengan wisatawan,” ujar Reza.
Menurutnya, perubahan ini mencerminkan meningkatnya minat wisatawan untuk menjadikan kereta api sebagai akses utama ke kawasan Pantai Gandoriah. Selain menjadi moda transportasi, stasiun ini juga dipandang sebagai bagian dari identitas budaya masyarakat pesisir Pariaman.
“Stasiun Pariaman bukan hanya aset transportasi, tetapi juga bagian penting dari identitas budaya pesisir Sumatera Barat. KAI berkomitmen menjaga kelestarian bangunan bersejarah ini sekaligus meningkatkan kualitas layanan bagi masyarakat dan wisatawan,” ungkapnya.
Reza menambahkan bahwa berbagai peningkatan terus dilakukan, mulai dari perawatan infrastruktur, penguatan keamanan lingkungan stasiun, hingga peningkatan layanan Kereta Api Sibinuang yang setiap hari menjadi andalan masyarakat.
“Dengan perpaduan sejarah, budaya, dan potensi wisata yang kuat, Stasiun Pariaman menjadi contoh bagaimana infrastruktur transportasi dapat tumbuh menjadi ruang kehidupan yang menyatu dengan masyarakat. KAI Divre II Sumbar akan terus menjaga nilai historisnya sekaligus menghadirkan layanan yang modern, aman, dan nyaman bagi seluruh pelanggan,” tutup Reza.
Salam,
M. Reza Fahlepi
Kepala Humas KAI Divre II Sumbar



















