PADANG | Peristiwa pengrusakan rumah doa GKSI di kawasan Padang Sarai menjadi catatan serius bagi kita semua. Insiden yang terjadi pada Minggu, 27 Juli 2025, melibatkan sekelompok orang yang diduga merusak rumah ibadah milik jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI). Saat kejadian, sejumlah anak sedang mengikuti kegiatan belajar agama. Selain kerusakan fisik, dua anak dilaporkan mengalami luka-luka.
Tindakan perusakan tentu tidak dapat dibenarkan secara hukum dan etika. Namun demikian, Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) Cabang Padang juga menyoroti akar persoalan ini yang kerap diabaikan, keberadaan rumah doa yang dibangun tanpa izin resmi, tanpa komunikasi terbuka dengan masyarakat, dan tanpa persetujuan lingkungan yang mayoritas Muslim ini menjadi catatan penting.
Ketua Umum SEMMI Cabang Padang, Aulia Eka Putra menganggap wajar jika publik mempertanyakan kenapa bisa berdiri rumah doa tanpa sepengetahuan warga? Kenapa bisa berlangsung ibadah di daerah mayoritas tanpa ada komunikasi publik? Di mana fungsi pemerintah dalam menjaga harmoni sebelum konflik pecah?
“Banyak dari kita bukan anti perbedaan, tapi muak ketika perbedaan dimanfaatkan untuk menyusup diam-diam, mengabaikan kesepakatan sosial, lalu menuntut perlindungan hukum ketika warga sudah marah.
Justru karena ini kami mempertanyakan peran pemerintah daerah dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sumbar kenapa bisa kecolongan?” ujar Aulia
* Mengapa rumah doa dapat berdiri tanpa sepengetahuan warga sekitar?
* Di mana fungsi pengawasan dan deteksi dini terhadap potensi konflik sosial?
* Mengapa komunikasi publik tidak dilakukan sejak awal?
Aulia Eka Putra, Ketua Umum SEMMI Cabang Padang menegaskan bahwa masyarakat Muslim di Sumatera Barat bukan kelompok intoleran. Namun kami memiliki batas. Ketika batas itu dilanggar dengan praktik penyusupan berkedok ibadah, maka respons emosional masyarakat tidak bisa sepenuhnya disalahkan.
Sumatera Barat adalah tanah yang penuh dengan masjid, surau, dan rumah pengajian. Sumatera Barat bukan ruang kosong yang bebas diisi tanpa menghargai nilai lokal. Harmoni tidak akan tercipta jika proses pendirian rumah doa dilakukan diam-diam, lalu mengangkat isu intoleransi hanya ketika terjadi masalah.
“Sekali lagi sumatera Barat bukan ruang kosong yang bisa ditempeli keyakinan lain seenaknya saja. Negara harus hadir bukan hanya saat konflik, tapi sejak awal dengan regulasi yang tegas, bukan abu-abu.
Jika ingin membangun rumah ibadah di tengah umat mayoritas, maka persyaratannya harus ekstra ketat. Harus ada dialog, kesepakatan terbuka, dan evaluasi yang transparan.” tegas Aulia
Aulia Eka Putra mengajak semua elemen untuk saling memahami dan bijaksana menyikapi ini, harus ada ketegasan agar tidak terulang lagi. Setidaknya kami SEMMI Cabang Padang berikan 4 solusi konkrit agar hal serupa tidak terjadi lagi
1. Pemerintah Daerah dan FKUB harus memperketat regulasi pendirian rumah ibadah, khususnya di wilayah dengan komposisi mayoritas agama tertentu.
2. Setiap rencana pendirian rumah doa dan ibadah wajib melalui proses dialog terbuka, yang melibatkan masyarakat setempat, tokoh adat, dan ormas keagamaan.
3. Transparansi dan evaluasi wajib ditegakkan, bukan hanya untuk menjaga legalitas, tetapi juga demi menciptakan rasa saling percaya di tengah masyarakat.
4. Pemerintah jangan hanya hadir saat konflik, tapi harus aktif membina, mengawasi, dan memastikan regulasi tidak dilanggar sejak awal.
“Kami mengingatkan Harmoni bukanlah hasil dari sikap pura-pura damai, melainkan buah dari penghormatan terhadap aturan dan kearifan lokal.
Ketika identitas masyarakat diinjak-injak oleh kelicikan yang bersembunyi di balik simbol-simbol agama, maka yang lahir bukan toleransi—melainkan luka sosial yang sulit disembuhkan.” tutup Aulia.
SEMMI Cabang Padang mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menahan diri, berpikir jernih, dan tidak terjebak dalam fomo. Perbedaan adalah keniscayaan, tapi keharmonisan hanya akan tumbuh jika semua pihak menghormati dan tidak ada yang merasa seolah-olah paling tersakiti dan diskriminasi.
Rel SEMMI Cabang Padang