Refleksi 120 Tahun Syarikat Islam: Dari Perjuangan Ekonomi Kolonial hingga Pertarungan Ekonomi Era Digital

Oleh: Diva Gusti Yusra | Bendum PW SEMMI Sumbar

Tahun 2025 menandai genap 120 tahun perjalanan Syarikat Islam (SI) organisasi yang lahir dari denyut nadi perlawanan terhadap penindasan ekonomi kolonial. Dalam usia lebih dari satu abad, jejak Syarikat Islam bukan hanya menjadi bagian dari sejarah kebangkitan nasional, tetapi juga cermin bagaimana perjuangan ekonomi umat terus berevolusi dari masa ke masa.

Jika pada tahun 1905 Syarikat Dagang Islam berdiri sebagai reaksi atas monopoli perdagangan oleh kolonial Belanda dan pedagang asing, maka hari ini perjuangan ekonomi umat menemukan bentuk baru dalam menghadapi dominasi kapitalisme digital dan ketimpangan global. Sejarah berulang dalam wajah yang berbeda penjajahan ekonomi kini tidak lagi berbaju seragam kolonial, melainkan berselimut teknologi dan data.

Dari Syarikat Dagang Islam ke Gerakan Nasional

Lahirnya Syarikat Dagang Islam (SDI) oleh Haji Samanhudi di Surakarta bukan semata urusan dagang. Ia adalah perlawanan yang elegan terhadap sistem ekonomi kolonial yang menindas pedagang pribumi. Di bawah kepemimpinan H.O.S. Tjokroaminoto, organisasi ini kemudian bertransformasi menjadi Syarikat Islam (SI) pada tahun 1912, memperluas peran dari ekonomi ke sosial-politik dan ideologi kebangsaan.

Perubahan itu menandai kesadaran baru: bahwa kemerdekaan ekonomi tidak akan mungkin tercapai tanpa kemerdekaan politik. Tjokroaminoto menegaskan bahwa Islam harus menjadi sumber kekuatan pembebasan sosial dan ekonomi. Melalui SI, gagasan tentang ekonomi kerakyatan lahir jauh sebelum Indonesia merdeka. SI mengajarkan pentingnya solidaritas dagang, kemandirian, dan distribusi ekonomi yang adil — nilai-nilai yang kelak menjadi fondasi bagi perjuangan bangsa.

Warisan Pemikiran Ekonomi Kerakyatan

Syarikat Islam bukan sekadar gerakan politik, melainkan juga laboratorium pemikiran ekonomi yang visioner. Melalui koperasi, rumah dagang, dan sistem simpan pinjam berbasis kepercayaan antar-anggota, SI menanamkan nilai persaudaraan ekonomi umat (ukhuwah tijariyah). Di tengah cengkeraman kapitalisme kolonial, SI mengusung prinsip bahwa kekuatan ekonomi rakyat harus dibangun dari bawah — dari tangan pedagang kecil dan usaha bersama, bukan dari modal besar yang dikuasai segelintir elit. Prinsip ini kelak menginspirasi banyak gerakan ekonomi pasca-kemerdekaan, termasuk gagasan koperasi Bung Hatta.

Hari ini, gagasan tersebut tetap relevan. Ketimpangan ekonomi masih menjadi persoalan utama bangsa. Sistem ekonomi nasional masih dikuasai oleh korporasi besar, sementara ekonomi rakyat kecil kerap terseok-seok menghadapi tekanan pasar bebas. Semangat kemandirian ekonomi yang diwariskan oleh SI perlu dibangkitkan kembali dalam konteks zaman yang baru.

Pertarungan Ekonomi di Era Digital

Jika dulu Syarikat Islam berjuang melawan monopoli kolonial, kini umat menghadapi tantangan monopoli digital. Platform global menguasai arus perdagangan, informasi, hingga perilaku konsumsi masyarakat. Data menjadi komoditas baru yang hanya dikuasai oleh segelintir korporasi raksasa dunia. Kita sedang memasuki era di mana bentuk penjajahan ekonomi tidak lagi tampak nyata, tetapi bekerja secara sistemik melalui algoritma dan teknologi. Dalam konteks ini, semangat perjuangan SI harus diterjemahkan ulang: dari perlawanan pasar fisik menuju kedaulatan ekonomi digital.
Kemandirian ekonomi umat kini berarti menguasai teknologi, mengembangkan inovasi berbasis nilai Islam, memperkuat koperasi digital, serta menciptakan sistem perdagangan daring yang adil dan berkelanjutan. Inilah bentuk baru “perjuangan dagang” di abad ke-21.

Relevansi bagi Gerakan Mahasiswa Islam

Sebagai bagian dari gerakan mahasiswa yang berakar pada sejarah Syarikat Islam, Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) memikul tanggung jawab moral untuk melanjutkan semangat perjuangan itu. Tugas generasi hari ini bukan sekadar mengenang Samanhudi atau Tjokroaminoto, melainkan meneruskan gagasan besar mereka dalam konteks kekinian: menegakkan keadilan ekonomi melalui ilmu, teknologi, dan solidaritas sosial.
Mahasiswa Islam harus menjadi pelopor ekonomi kreatif berbasis nilai, penggerak koperasi digital, dan penjaga etika bisnis Islami di tengah gempuran budaya konsumtif. Hanya dengan itu cita-cita kemandirian ekonomi umat dapat diwujudkan kembali.

Menghidupkan Kembali Api Perjuangan

Refleksi 120 tahun Syarikat Islam bukan sekadar peringatan historis, melainkan momentum untuk meneguhkan kembali arah perjuangan ekonomi bangsa. Dari pasar batik Surakarta hingga marketplace digital hari ini, ruh perjuangan SI tetap satu: membebaskan umat dari ketergantungan dan menegakkan kedaulatan ekonomi.

Di tengah krisis moral, ketimpangan, dan disrupsi teknologi, nilai-nilai Syarikat Islam menjadi cahaya yang menuntun kita untuk tetap berpihak pada rakyat kecil, pada keadilan, dan pada kemandirian. Perjuangan itu belum selesai ia hanya berganti bentuk.

Bukittinggi, 12 Oktober 2025
✍️ Diva Gusti Yusra
Bendahara Umum PW SEMMI Sumatera Barat

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *